Seimbang
Part1: Omongan dan Tingkah Laku
Banyak omong tanpa bukti itu sama saja bohong.
Kasarnya, itu omong kosong. Percuma mengumbar kata tapi tidak dilakukan. Adalah
lebih baik menunjukkan sesuatu dengan tingkah laku, karena dapat langsung
dirasakan manfaatnya. Kalau hanya kata, itu tidak membuktikan apa-apa.
Contoh yang umum adalah dalam hubungan sepasang
kekasih. (Ehem, biasanya) si cowok banyak ngomong
cinta (aku cinta sama kamu; kamulah satu-satunya; sungguh, kamu gadis tercantik
yang pernah ku miliki; kamu yang terakhir untukku; etc), tapi jarang menunjukkan perhatian. Bilangnya sayang,
tapi mengunjungi pun tidak, dengan banyak alasan, misalnya, banyak kerjaan,
pulangnya malem, ada acara bareng
keluarga, dan lain lain dan lain lain (idih,
kayak curhat - tapi enggak lho).
Padahal, yang dibutuhkan oleh si cewek adalah perhatian dan kasih sayang, seperti,
dijemput untuk makan malam; waktu untuk berkomunikasi; perhatian akan
persoalan-persoalan yang dialami, misalnya dalam pekerjaan, perkuliahan atau
keluarga; diskusi dan sharing; dan macam-macam lagi.
Contoh lain misalnya dalam keluarga, antara
orangtua dan anak. Kalau orangtua melulu hanya memberi wejangan (kamu harus begini; tidak baik kalau kamu begitu; mumpung
masih ada waktu, usahakan untuk selalu begini begitu), tetapi tidak menunjukkan
teladannya, maka omongan-omongan itu hanya menjadi hiasan transparan yang
menggantung di daun telinga anak.
Betul banget,
perilaku itu penting. Seperti kedua contoh di atas, kata-kata yang segudang
tidak akan ada maknanya apabila tidak ada perilaku yang membuktikan. Seorang
gadis lama-kelamaan akan menganggap pacarnya tidak sungguh-sungguh
mencintainya, karena cuma ngomong tapi
tidak ada tindakan nyata. Kemungkinan lebih buruk adalah malah si gadis hidup
dalam denial karena begitu banyak
kata manis yang didengarkan membuatnya menyangkal kenyataan (tapi ini agak
berlebihan siy,,hehehe..). Seorang
anak juga mungkin tidak bersedia taat pada perkataan orangtuanya apabila
orangtuanya tidak menunjukkan perilaku yang sejalan dengan wejangannya.
Tapi.... (seneng
banget sih pake kata tapi) J
Walau tindakan nyata itu penting, tetap saja kata-kata
diperlukan.
Contohnya begini, ada seorang cowok, yang sangat tertarik
dengan seorang cewek (cewek!), mencoba menunjukkan perhatiannya. Mengomentari
status baik facebook maupun bbm, nganterin
pulang bila keadaan (seperti) kepepet, membuatkan tugas (ini kalau si cewek adalah
seorang pemalas), tetapi tidak sekalipun mengatakan bahwa dirinya suka.
Beruntung bila si cewek tanggap, dan membalasnya dengan perhatian yang sama. Namum
apabila si cewek merasa takut ke-ge’er-an
lalu tidak menanggapi perhatian si cowok, apakah lantas hubungan itu mencapai
akhir yang indah? (jawabannya: belum tentu).
Atau, misalnya ada seorang cewek yang begitu
terganggu dengan sikap seseorang yang suka padanya. Orang itu dengan semangat
menawarkan mengantar pulang, atau mengajak ketemuan untuk makan malam, membelikan
hadiah macam-macam, atau selalu mencari kesempatan untuk jalan bareng. Si cewek (yang sebenarnya tidak
suka, hanya menghormati saja), berusaha menunjukkan bahwa dirinya tidak nyaman,
dengan misalnya selalu menolak ajakan makan malam dengan alasan sudah mengantuk,
selalu menolak diantarkan pulang karena mau pergi dengan teman-teman, atau
tidak pernah memakai hadiah yang diberikan.
Beruntung bila orang tersebut peka dan akhirnya
berhenti melancarkan aksinya. Tapi bila orang tersebut adalah orang yang
(benar-benar) berpikiran positif, bisa saja dia meneruskan perjuangannya
(berpikir bahwa mungkin memang si cewek ga
bisa tidur larut malam; mungkin dia anaknya gaul
yang punya banyak teman; mungkin hadiah yang aku berikan ga cocok sama
seleranya, jadi musti cari yang cocok; dan lain-lain).
Contoh lain, misalnya orangtua yang begitu
memikirkan masa depan anaknya, menabung untuk kuliah anak di masa yang akan datang
sehingga harus berhemat di masa sekarang. Anak-anak yang begitu dipengaruhi
situasi lingkungan di sekolahnya (temen-temen
udah pake gadget semua, Pa), meminta orangtua untuk membelikan ini dan itu
yang mungkin harganya tidak terjangkau (atau terjangkau tapi tidak diperlukan –
mending ditabung buat keperluan
penting lainnya). Bila orang tua hanya menunjukkan bahwa dirinya-pun tidak
menggunakan gadget mahal dan
lain-lain, mungkinkah anak-anak bisa langsung memahami? (yang ada –kebanyakan-
anak berpikir “Papa mah emang kurang gaul aja, jadi ga tau kemajuan jaman)”.
Di sinilah pentingnya penyampaian secara verbal.
Untuk menegaskan, memberi pengertian, atau mencapai kesepakatan bersama. Perilaku
tanpa kata dapat disalah-artikan, yang mengakibatkan munculnya reaksi
berlebihan dari orang lain. Seseorang mungkin memiliki maksud tertentu dalam
bertingkah laku, namun orang lain bisa menganggapnya berbeda. Hal ini dapat
berujung pada kesalahpahaman yang bisa mengganggu sebuah hubungan (hubungan
antar teman- hubungan atasan bawahan- atau hubungan orangtua dan anak).
Demikianlah Keseimbangan diperlukan.
Hanya omongan saja tidak cukup. Hanya perilaku saja
juga tidak cukup. Keduanya harus dilaksanakan secara seimbang, tidak ada yang
dihilangkan.
Alexandra
Komentar
Posting Komentar