Wanita dan Kereta
Baru-baru ini saya melihat sebuah postingan di twitter berupa foto
seorang pria yang tertidur nyenyak di bangku commuterline, dengan
caption: "enaknya tidur ampe pala jatoh, dan gw berdiri envy," yang dipost oleh akun seorang wanita. Fotonya jelas menampakkan mata dan
hidung pria tersebut serta masker yg menutupi mulut dan dagunya.
Lalu banyak juga twit yang mengungkapkan keprihatinannya tentang empati para pengguna commuterline yang dirasa sudah surut, misalnya, para lelaki yang katanya pura-pura tidur padahal ada orang tua yang berdiri di hadapannya; atau para wanita di gerbong perempuan yang tega membiarkan seorang wanita hamil kebingungan karena tidak mendapat tempat duduk.
Apakah benar empati sudah menyurut? Apa sebenarnya definisi empati? Apa latarbelakang situasinya? Sepertinya perlu ditilik kembali.
Saya rasa semua sudah tahu, empati itu adalah dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain. Hal tersebut kemudian diwujudkan dengan tindakan, misalnya, bila ada kedukaan, maka kita pun dapat ikut merasakan kesedihan yang dirasakan oleh keluarga yang ditinggalkan. Nah, empati berlaku pada situasi saat kita tidak mengalami suatu hal sedangkan orang lain mengalami hal tersebut, kemudian kita berempati terhadap orang tersebut dengan ikut merasakan apa yang dirasakannya. Lain cerita jika, semua orang mengalami hal yang sama (atau setidaknya, 'merasa' mengalami hal yang sama).
Sebagai pengguna commuterline, tiap hari saya merasakan bagaimana himpitan, dorongan, dan injakan kaki di commuterline. Bahkan jika ac gerbong bermasalah, saya juga merasakan sauna sampai kekurangan oksigen yang membuat saya pusing-pusing. Belum lagi jika kereta mogok, kami terperangkap di dalam kotak tertutup berisi manusia penuh emosi yang berdesak-desakan.
Wajar jika emosi mudah terpancing. Dalam keadaan tidak menyenangkan, orang cenderung memaknai situasi secara lebih dramatis. Seorang wanita yang sudah capek sepulang kerja dan masih harus menyerahkan diri pada commuterline karena tak punya pilihan lain akan lebih mudah merasa bete jika melihat ada pria yang menikmati duduk sementara dirinya berdiri. Begitu pula seorang ibu hamil yang kelelahan karena bekerja seharian akan lebih mudah merasa tersinggung atau pun sedih bila tak ada yang dengan rela memberikan tempat duduk padanya.
Ya, wajar.
Tetapi marilah kita lihat sejenak sisi lain para pengguna commuterline, yang tua tapi tidak hamil, atau, yang masih muda tapi kecapekan sangat sehingga mengusahakan tempat duduk untuk dirinya.
Semua manusia dapat merasakan capek, jelas. Apalagi beban kerja setiap orang berbeda-beda, masalahnya pun berbeda-beda. Mungkin sepulang kerja, ia masih harus ada kerja lain, sehingga ingin beristirahat dalam perjalanan untuk memulihkan tenaga. Dan lebih lagi, orang-orang seperti ini rela memutar ke stasiun pemberhentian terakhir untuk mengusahakan agar dirinya bisa duduk. Jadi, sudah capek, nanti masih ada kerjaan, nunggu kereta muter, baru duduk sebentar, sudah diminta berdiri. Buat apa buang waktu untuk memutar?
Ini masalah kondisi. Kondisi seimbang, bahwa semua orang capek, dan semua commuterline penuh (pas jam pergi dan pulang kerja). Lalu yang berbeda, ada orang yang merelakan waktunya terpakai untuk ikut kereta memutar, ada yang tidak.
Kalau bicara perasaan, mustinya juga seimbang. Di saat jam pulang kerja, seorang pengguna harus memahami bahwa yang capek bukan hanya dirinya sendiri.
(Sengaja saya blur mukanya) |
Lalu banyak juga twit yang mengungkapkan keprihatinannya tentang empati para pengguna commuterline yang dirasa sudah surut, misalnya, para lelaki yang katanya pura-pura tidur padahal ada orang tua yang berdiri di hadapannya; atau para wanita di gerbong perempuan yang tega membiarkan seorang wanita hamil kebingungan karena tidak mendapat tempat duduk.
Apakah benar empati sudah menyurut? Apa sebenarnya definisi empati? Apa latarbelakang situasinya? Sepertinya perlu ditilik kembali.
Saya rasa semua sudah tahu, empati itu adalah dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain. Hal tersebut kemudian diwujudkan dengan tindakan, misalnya, bila ada kedukaan, maka kita pun dapat ikut merasakan kesedihan yang dirasakan oleh keluarga yang ditinggalkan. Nah, empati berlaku pada situasi saat kita tidak mengalami suatu hal sedangkan orang lain mengalami hal tersebut, kemudian kita berempati terhadap orang tersebut dengan ikut merasakan apa yang dirasakannya. Lain cerita jika, semua orang mengalami hal yang sama (atau setidaknya, 'merasa' mengalami hal yang sama).
Sebagai pengguna commuterline, tiap hari saya merasakan bagaimana himpitan, dorongan, dan injakan kaki di commuterline. Bahkan jika ac gerbong bermasalah, saya juga merasakan sauna sampai kekurangan oksigen yang membuat saya pusing-pusing. Belum lagi jika kereta mogok, kami terperangkap di dalam kotak tertutup berisi manusia penuh emosi yang berdesak-desakan.
Wajar jika emosi mudah terpancing. Dalam keadaan tidak menyenangkan, orang cenderung memaknai situasi secara lebih dramatis. Seorang wanita yang sudah capek sepulang kerja dan masih harus menyerahkan diri pada commuterline karena tak punya pilihan lain akan lebih mudah merasa bete jika melihat ada pria yang menikmati duduk sementara dirinya berdiri. Begitu pula seorang ibu hamil yang kelelahan karena bekerja seharian akan lebih mudah merasa tersinggung atau pun sedih bila tak ada yang dengan rela memberikan tempat duduk padanya.
Ya, wajar.
Tetapi marilah kita lihat sejenak sisi lain para pengguna commuterline, yang tua tapi tidak hamil, atau, yang masih muda tapi kecapekan sangat sehingga mengusahakan tempat duduk untuk dirinya.
Semua manusia dapat merasakan capek, jelas. Apalagi beban kerja setiap orang berbeda-beda, masalahnya pun berbeda-beda. Mungkin sepulang kerja, ia masih harus ada kerja lain, sehingga ingin beristirahat dalam perjalanan untuk memulihkan tenaga. Dan lebih lagi, orang-orang seperti ini rela memutar ke stasiun pemberhentian terakhir untuk mengusahakan agar dirinya bisa duduk. Jadi, sudah capek, nanti masih ada kerjaan, nunggu kereta muter, baru duduk sebentar, sudah diminta berdiri. Buat apa buang waktu untuk memutar?
Ini masalah kondisi. Kondisi seimbang, bahwa semua orang capek, dan semua commuterline penuh (pas jam pergi dan pulang kerja). Lalu yang berbeda, ada orang yang merelakan waktunya terpakai untuk ikut kereta memutar, ada yang tidak.
Kalau bicara perasaan, mustinya juga seimbang. Di saat jam pulang kerja, seorang pengguna harus memahami bahwa yang capek bukan hanya dirinya sendiri.
Belum tentu yang terlihat muda fisiknya lebih bugar dari yang lebih tua. Yaa,, positif thinking aja. Selama ngga ada keluhan, ya ngga apa-apa toh berdiri. Duduk terlalu lama juga ngga bagus. Biasanya kalo udah ada keluahan, kita juga minta duduk dan pasti di beri tempat kan?!
BalasHapusIya setuju, yang penting berpikir positif...
Hapus