Aku, Jakarta dan Commuterline
Setelah menikah, saya ikut suami tinggal di Depok. Tanggal 14 Juli 2013 saya mulai menempati sebuah rumah di kawasan Cilodong, yang berarti saya harus naik kereta untuk berangkat ke kantor setiap harinya (kantor saya di daerah Lapangan Banteng).
Karena informasi yang terbatas, di hari pertama berkereta saya berangkat dari rumah jam 05.30 pagi. Di stasiun saya malah menunggu sampai setengah jam lebih (ternyata jadwal commuterline rute Bogor - Jakarta Kota berangkat dari stasiun Depok lama pukul 05.35 (ga keburu untuk saya), lalu 06.08, kemudian kereta lainnya menyusul setelah itu, tetapi sudah tidak menjadi pilihan karena pasti terlambat - yang jam 06.08 aja masih mungkin terlambat sampai kantor).
Saya membeli comet (kartu commuterline) seharga 50.000 dengan rincian pulsa 30.000 dan harga kartunya 20.000. Ini untuk menghindari antri tiket masuk. Saya cukup menempelkan kartu ini di gerbang masuk stasiun keberangkatan dan gerbang keluar di stasiun tempat saya turun, kemudian pulsa di kartu otomatis terpotong. Tarif commuterline saat ini dari Depok ke Gondangdia adalah 3.500 sedangkan kalau turun di Juanda tarifnya 4.000. Si Comet ini dapat diisi ulang jika pulsanya habis dan masa aktifnya tak terbatas. Comet bisa diisi di loket-loket di hampir setiap stasiun.
Saya memilih commuterline karena kereta ekonomi tidaklah memungkinkan bagi saya. Dari luar saja sudah terlihat penuh sesak, orang-orang bergelantungan, malah ada yang nongkrong di atas kereta.
Commuterline saya tiba, saya pun masuk. Entah kenapa, para wanita punya hobby dorong-dorongan (saya memilih untuk naik ke gerbong khusus wanita). Untuk masuk ke dalam kereta harus rebutan dan dorong-didorong. Mungkin karena "keretaku tak berhenti lama" jadi ibu-ibu pada takut tidak terbawa.
Masuk kereta pertama seperti yang saya bayangkan, penuh. Boro-boro mengharap duduk, untuk berdiri dengan perasaan lega saja sudah untung, hehe.
Kesesakan dimulai dari stasiun Depok Baru. Penumpang naik terus sementara belum ada yang turun. Kereta semakin sesak saat dapat tambahan penumpang dari Pondok Cina dan UI. Dari situ sampai stasiun Manggarai, a minute is like forever rasanya. Orang-orang yang tidak mendapatkan pegangan terpaksa berdiri dengan tidak stabil. Apabila kereta berubah posisi (kadang agak miring, atau pada saat mau berhenti kereta agak maju dan kalau mau jalan lagi kereta jadi agak mundur), mereka yang tak memiliki pegangan langsung miring-miring meng-gencet (saya tidak tahu padanan kata bahasa Indonesianya, hehe) orang sebelahnya, lalu yang sebelahnya jadi meng-gencet orang yang di sebelahnya lagi sehingga yang berdiri di pojok terjepit. Nah, untuk penumpang yang kebagian pegangan, kondisi ini dapat dianggap fitnes gratis, latihan otot bisep dan trisep, saat menahan berat badan sendiri plus berat badan orang-orang yang dibelakangnya.
Kalau mau turun di daerah Cawang atau Tebet, seseorang harus berjuang mengeluarkan diri dari kerumunan manusia karena kereta masih penuh. Tas harus diangkat tinggi-tinggi (karena kalau tidak maka tas bisa terjepit dan talinya putus), lalu menyelip-nyelipkan diri di antara orang-orang yang berdiri berdempet. Saya beruntung turun di stasiun Gondangdia, karena kereta sudah agak lega, sebagian penumpang turun di Manggarai dan Cikini.
Nah di Gondangdia ada cerita sendiri nih. Mungkin karena banyak sekali orang yang turun di sini, antrian untuk keluar dari stasiun saja bisa pangjang banget, padahal sudah tersedia 8 gate.
Setelah turun di Gondangdia, saya musti naik P20 (bayar 2000) untuk mengantar saya ke depan kantor. Kalau beruntung saya bisa dapat yang P20 AC (bayar 3000), dan kalau untungnya berlipat, saya bisa dapat tempat duduk di bis hehe.
Yang membuat saya kagum, ada banyak ibu-ibu paruh baya yang juga ikut berdesak-desakan di dalam kereta. Mereka dengan usia yang tidak muda lagi masih berjuang mengalahkan transportasi yang semakin menggila. Bahkan ibu-ibu hamil pun rela bersempit-sempit ria. Semua itu demi tugas (atau demi sesuap gaji), serta menjalankan amanat yang sudah Tuhan percayakan. Semoga saya bisa selalu bersemangat membara sama seperti mereka.
Karena informasi yang terbatas, di hari pertama berkereta saya berangkat dari rumah jam 05.30 pagi. Di stasiun saya malah menunggu sampai setengah jam lebih (ternyata jadwal commuterline rute Bogor - Jakarta Kota berangkat dari stasiun Depok lama pukul 05.35 (ga keburu untuk saya), lalu 06.08, kemudian kereta lainnya menyusul setelah itu, tetapi sudah tidak menjadi pilihan karena pasti terlambat - yang jam 06.08 aja masih mungkin terlambat sampai kantor).
Saya membeli comet (kartu commuterline) seharga 50.000 dengan rincian pulsa 30.000 dan harga kartunya 20.000. Ini untuk menghindari antri tiket masuk. Saya cukup menempelkan kartu ini di gerbang masuk stasiun keberangkatan dan gerbang keluar di stasiun tempat saya turun, kemudian pulsa di kartu otomatis terpotong. Tarif commuterline saat ini dari Depok ke Gondangdia adalah 3.500 sedangkan kalau turun di Juanda tarifnya 4.000. Si Comet ini dapat diisi ulang jika pulsanya habis dan masa aktifnya tak terbatas. Comet bisa diisi di loket-loket di hampir setiap stasiun.
Ini kartu commuterline-nya |
Saya memilih commuterline karena kereta ekonomi tidaklah memungkinkan bagi saya. Dari luar saja sudah terlihat penuh sesak, orang-orang bergelantungan, malah ada yang nongkrong di atas kereta.
Kereta Ekonomi, saya foto dari peron |
Commuterline saya tiba, saya pun masuk. Entah kenapa, para wanita punya hobby dorong-dorongan (saya memilih untuk naik ke gerbong khusus wanita). Untuk masuk ke dalam kereta harus rebutan dan dorong-didorong. Mungkin karena "keretaku tak berhenti lama" jadi ibu-ibu pada takut tidak terbawa.
Masuk kereta pertama seperti yang saya bayangkan, penuh. Boro-boro mengharap duduk, untuk berdiri dengan perasaan lega saja sudah untung, hehe.
Begini situsasi di dalam kereta |
Kesesakan dimulai dari stasiun Depok Baru. Penumpang naik terus sementara belum ada yang turun. Kereta semakin sesak saat dapat tambahan penumpang dari Pondok Cina dan UI. Dari situ sampai stasiun Manggarai, a minute is like forever rasanya. Orang-orang yang tidak mendapatkan pegangan terpaksa berdiri dengan tidak stabil. Apabila kereta berubah posisi (kadang agak miring, atau pada saat mau berhenti kereta agak maju dan kalau mau jalan lagi kereta jadi agak mundur), mereka yang tak memiliki pegangan langsung miring-miring meng-gencet (saya tidak tahu padanan kata bahasa Indonesianya, hehe) orang sebelahnya, lalu yang sebelahnya jadi meng-gencet orang yang di sebelahnya lagi sehingga yang berdiri di pojok terjepit. Nah, untuk penumpang yang kebagian pegangan, kondisi ini dapat dianggap fitnes gratis, latihan otot bisep dan trisep, saat menahan berat badan sendiri plus berat badan orang-orang yang dibelakangnya.
Kalau mau turun di daerah Cawang atau Tebet, seseorang harus berjuang mengeluarkan diri dari kerumunan manusia karena kereta masih penuh. Tas harus diangkat tinggi-tinggi (karena kalau tidak maka tas bisa terjepit dan talinya putus), lalu menyelip-nyelipkan diri di antara orang-orang yang berdiri berdempet. Saya beruntung turun di stasiun Gondangdia, karena kereta sudah agak lega, sebagian penumpang turun di Manggarai dan Cikini.
Nah di Gondangdia ada cerita sendiri nih. Mungkin karena banyak sekali orang yang turun di sini, antrian untuk keluar dari stasiun saja bisa pangjang banget, padahal sudah tersedia 8 gate.
Antrian di pintu keluar stasiun Gondangdia (di belakang saya masih berbaris banyak orang lagi) |
Setelah turun di Gondangdia, saya musti naik P20 (bayar 2000) untuk mengantar saya ke depan kantor. Kalau beruntung saya bisa dapat yang P20 AC (bayar 3000), dan kalau untungnya berlipat, saya bisa dapat tempat duduk di bis hehe.
Yang membuat saya kagum, ada banyak ibu-ibu paruh baya yang juga ikut berdesak-desakan di dalam kereta. Mereka dengan usia yang tidak muda lagi masih berjuang mengalahkan transportasi yang semakin menggila. Bahkan ibu-ibu hamil pun rela bersempit-sempit ria. Semua itu demi tugas (atau demi sesuap gaji), serta menjalankan amanat yang sudah Tuhan percayakan. Semoga saya bisa selalu bersemangat membara sama seperti mereka.
Untuk mengurangi overcrowding, gerbong tambahan segera disambungkan, begitu platform extension selesai. Gate masuk dan keluar akan ditambah untuk mengurangi antrian. Jadwal keberangkatan saat peak hours akan ditambah. KRL Commuter Line ber-AC murah meriah ini dibiayai APBN dengan subsidi penumpang, yang aslinya untuk kereta ekonomi. Karena KA ekonomi sudah dihapuskan maka penumpangnya pindah ke Commuter Line. Nanti apabila sudah nyaman, barulah subsidi perlahan dicabut. Saya akan Depok - Juanda Rp40,000,- saja masih amat murah, dibandingkan taksi yang meskipun ber-AC namun tidak anti macet.
BalasHapusWahh beneran Pak? Syukurlah kalu kayak gitu,, jadi lancar dan ga rebutan...mudah2an realisasinya ga lama lagi...amin
BalasHapus