Lagi-lagi bus 45

Penampilan dan presentasi memang penting untuk mendapatkan atensi orang, bahkan sampai mendapatkan apa yang kita minta. Ini pengalaman saya di dalam bus 45 sore ini.

Bus Peninggalan Jepang
Bus 45 ini agak berbeda dari bus lain di Jakarta, besar dan pintunya lebar. Menurut info di forum detik, ini bus peninggalan Jepang. Susunan bangku di bus ini agak lain. Di sisi belakang supir ada tempat duduk untuk dua orang seperti di bus pada umumnya, sedangkan di sisi sebelah kiri bus itu tempat duduknya memanjang, seperti di angkot. Saya duduk di bangku yang memanjang, yang berada di antara pintu depan dan tengah.

Sementara bis masih ngetem, ada seorang bapak penjual jeruk yang menawarkan dagangannya (satu harganya dua ribu). Bapak penjual itu mulai dari bagian depan, tempat di mana saya duduk. Karena tidak ada penumpang yang berdiri dan saya duduk di bangku yang menghadap ke samping, saya dapat memandang ke seluruh penjuru bus tanpa menoleh secara berlebihan. Ada beberapa orang yang membeli jeruknya (dan langsung memakannya saat itu juga - tanpa cuci tangan, dalam bus berdebu, hmmmm).

Ketika bapak penjual jeruk sampai di bagian belakang bis ia disapa oleh seorang wanita (berumur sekitar 45 sampai 50 tahun) dengan suara yang lembut dan ramah.

"Waah, Bapak ke mana aja? saya baru ketemu lagi nih sekarang" kata wanita itu.

Si bapak penjual jeruk hanya senyam-senyum.

Wanita itu meneguk air dari gelas plastik di tangannya kemudian melanjutkan omongannya dengan memandangi bergantian orang di sekelilingya, "Bapak ini dulu sering lho di bis ini, tapi sekarang jarang."

Saya langsung tertarik. Yang ada di pikiran saya adalah opsi, siapakah wanita ini. Jarang sekali ada orang yang menyapa seorang penjual asongan di bis dengan merdu dan lembut begitu. Kemungkinan dia tetangganya. Ah, tapi kalau tetangganya nggak mungkin lama ga ketemu. Mungkin dia orang yang tiap hari naik bis 45. Ah, kalau begitu dia sama seperti saya, tiap hari naik bis itu, tapi tak pernah saya menyapa para penjual asongan hanya karena tiap hari ketemu. Mungkin dia mantan pacarnya. Aha, saya jadi ngelantur, hehehe...

Saya putuskan untuk menunggu, apa lagi perbincangan selanjutnya. Sayangnya ternyata bapak penjual jeruk itu turun sesaat sebelum bis berjalan. Tapi kemudian saya melihat wanita tadi berdiri, berjalan ke arah depan. Ia berhenti sebentar di tengah, menegur seorang ibu berseragam pemda yang duduk di dekat pintu dengan menggunakan bahasa jawa halus. Hmm,,dia kenal banyak orang di bis ini, pikir saya.

Saat ia berdiri, saya dapat melihat pakaian yang dikenakannya. Kerudung warna hijau dengan baju panjang sepaha warna senada, dipadu dengan legging motif leopard. Dari dekat saya dapat melihat senyumnya. Wanita itu kemudian mulai bicara. Wah, suaranya mendu, bahkan saat tidak sedang bernyanyi. Dalam dan terdengar bersahaja. Saya menangkap apa yang ia bicarakan, tidak persis sama mungkin, tapi kurang-lebihnya begini:

Bapak dan ibu sekalian, selamat sore.
Juga pak sopir dan bapak kondektur, ya.
Ijinkanlah sore hari ini, saya mengganggu perjalanan anda,
dengan membacakan sebuah puisi.

Saya melakukan ini untuk membayar biaya kuliah anak saya.
Anak saya perempuan lho, Bapak, Ibu.
Sekarang sudah semester 3, bulan depan akan melanjutkan ke semester 4.

17 tahun saya menjadi ibu dan juga bapak dari anak saya.
Bapaknya ke mana ya?
Alhamdulilah bapaknya pergi, dengan perempuan lain.
Ndak papa, ya, namanya juga rumah tangga.
Ayu ting-ting aja baru nikah sudah mau cerai ya.
Ndak papa.

Ekspresinya benar-benar tenang, teduh. Senyumnya pun mengembang, seperti bukan orang susah. Ia lalu berdeklamasi, puisi tentang bencana alam. Intinya, perilaku hidup kita yang buruk memberi kontribusi pada terjadinya kerusakan alam yang berujung pada bencana.

Tepat sebelum saya sampai di stasiun (perjalanan dari perempatan Cawang menuju stasiun Cawang hanya 5 sampai 7 menit saja), wanita itu mengakhiri penampilannya di bis dengan ucapan selamat, sukses dan bahagia buat para penumpang. Gaya bicaranya yang mengingatkan saya pada seorang dosen membuat saya berpikir kenapa dengan bakat seperti itu dia tidak jadi pekerja seni saja, atau mencari pekerjaan lainnya. (Ah, saya mulai ngelantur lagi. Ada banyak orang jago nyanyi yang tidak jadi penyanyi kan?). Saya kemudian membuka dompet saya (padahal sudah saya masukkan ke dalam tas, ribet banget ngeluar2-in dompet di dalam bis apalagi perjalannya singkat, sebentar lagi mau turun), untuk mengambil uang yang kemudian saya masukkan ke kantung uang wanita itu.

Saya bukan tipe orang yang sering memberi pada pengemis jalanan maupun pengamen, kecuali jika pengamen itu menyanyikan lagu yang saya sukai dengan suara yang menurut standar saya bagus. Saya kurang suka memberi pada pengamen dan pengemis karena teori saya sendiri tentang cara pandang yang benar akan usaha dan kerja keras, serta karena berita-berita di televisi tentang kelakuan konsumtif para pengemis, bahkan tentang jumlah harta mereka yang tidak terduga. Selain itu ada juga larangan dari pemerintah untuk memberi pada peminta-minta di jalanan.

Sebenarnya  wanita tadi sama saja dengan pengamen saya sering saya jumpai, bedanya hanya, pengamen membawakan lagu sedang ia membawakan puisi. Puisinya juga tidak spektakuler, biasa saja isinya, umum. Orangnya juga tidak berpenampilan lusuh atau kelihatan jarang mandi seperti rekan-rekan seprofesinya di 45, malah cenderung rapi. Saya malah mengeluarkan dompet saya dari tas lalu mengambil uang dan memberinya pada wanita itu, justru karena penampilannya. Dia menyenangkan, ramah, sangat berbeda dengan pengamen yang biasanya menarik uang dengan wajah cemberut.

Di sini saya belajar tentang penampilan melalui kejadian yang nyata. Bahkan pengamen pun, jika penampilannya baik dan bersih, dapat membuat saya keluar dari kebiasaan saya, malah melakukan hal yang di luar kebiasaan.Penampilan yang bersih dan rapi membuat nyaman orang lain yang kita hadapi. Lalu senyuman dan ucapan yang ramah dapat mendekatkan diri kita dengan orang lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ice Breaking Game

Tangkap Jari

Rahasia Kesuksesan Yusuf