Tidak Ada Sahabat Sejati

"Tidak ada sahabat sejati, tidak ada pula musuh sejati. Yang sejati hanyalah kepentingan."

Itu salah satu kuote yang pernah saya dengar dari bapak saya. Dulu waktu saya masih kecil, saya suka mengikuti pembicaraan orang-orang dewasa (walaupun kalau ketahuan bapak sering dimarahi dan disuruh menyingkir), memperhatikan bagaimana seriusnya ekspresi mereka ketika berbicara, dan ikut manggut-mangut walaupun tidak mengerti artinya.

Saya termasuk orang yang percaya sahabat sejati, sampai saat ini pun begitu. Bahkan di masa remaja, saya ekstrim tidak setuju terhadap kuote di atas. Apa-apaan itu? Saya punya sahabat, bisa saya percaya. Lalu kenapa harus ada kuote itu?

Tapi seiring berjalannya waktu, semakin dewasa saya, lama-lama saya mengerti juga maksudnya. Kuote itu mau bilang, sahabat akan terus menjadi sahabat selama ada kepentingan yang terakomodasi dari pertemanan itu. Sahabat bisa menjadi musuh bila ada perbedaan kepentingan, atau bila terdapat persaingan kepentingan. Musuh bisa jadi sahabat asalkan saling menguntungkan dalam kepentingan, dan akan menjadi musuh lagi bila pada akhirnya ada benturan kepentingan

Saya mulai berpikir, saat persahabatan dan permusuhan hanyalah sebatas kepentingan, mending tidak bersahabat dan mending tidak bermusuh. Ekstrim? Tunggu dulu.

Persahabatan melibatkan afeksi. Ada ikatan emosional di antara orang yang bersahabat. Seseorang dapat menggap orang lain sebagai sahabatnya jika ada kesenangan bila bersama, rasa percaya terhadap orang tersebut, rasa rindu bila jarang bertemu serta rasa tidak ingin menyakiti karena sayang terhadap sahabatnya. Sebaliknya, bagaimana seorang dapat menganggap orang lain musuh adalah karena sisi emosionalnya disinggung, menyebabkan ketidaksenangan jika bertemu, merasa dikhianati, tidak ada trust bahkan kalau bisa melancarkan aksi yang merugikan itu akan dilaksanakan.

Jika sudah melibatkan afeksi, maka semua jenis emosi dapat terlibat. Senang, sedih, bahagia, marah, tersinggung, kecewa, menjadi bagian dalam hubungan itu. Tak dapat dipungkiri, semua yang dapat merasa senang pasti juga dapat merasa kecewa. Seseorang lebih mudah kecewa pada orang yang memiliki hubungan dengannya dari pada yang tidak.Lamanya rasa kecewa itu juga tergantung dengan kedekatan hubungannya. Rasa kecewa bisa terbawa pikiran cukup lama bila yang mengecewakan adalah orang dekat.

Karena itu saya menyimpulkan, jika ada kepentingan (kemungkinan benturan kepentingan), jangan libatkan aspek emosi yang terlalu dalam dalam pertemanan. Itu melindungi diri kita dari permusuhan juga. Bila ingin bersahabat, janganlah karena kepentingan dan waspadailah kemungkinan benturan kepentingan. Biasanya, persahabatan di lingkungan kerja paling rentan terhadap hal ini. Bila dua orang sahabat tidak terlalu sering bertemu, tidak ada hubungan kerja, maka kemungkinan benturan akan semakin kecil.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ice Breaking Game

Tangkap Jari

Rahasia Kesuksesan Yusuf