Dongeng Sebangun Tidur


Pagi ini, ketika sangat ingin tidur setelah capek yang beruntun, saya malah terbangun disaat jam belum genap 6.00, dan tak bisa tidur lagi. Bolak-balik, ke sana kemari (sejauh yang masih dimungkinkan di atas kasur single milik kos-kosan), memperbaiki posisi bantal, tetap tidak bisa tidur lagi. Padahal suasana sangat mendukung, tidak ada suara, tidak ada cahaya.

Tapi ya sudahlah, tidak lagi saya paksakan. (Teteup) dalam posisi masih berbaring, pikiran saya melayang. Apa arti mimpi saya semalam. Seekor kuda sedang berlari kencang di alam bebas. Tidak ada penunggangnya. Lalu saya juga berlari, sepertinya berpacu dengan si kuda. Saya tersenyum melirik si kuda, dan betapa terkejutnya saya, kuda itu balik tersenyum pada saya (setidaknya saya menganggap melebarkan bibir sampai semua gigi depannya nampak itu adalah senyuman).

Kuda itu tidak berhenti, melainkan terus berlari. Saya pun tidak berhenti, terus berlari. Tapi pelarian yang panjang (jika imbuhan pe - an dapat dipakai untuk membentuk kata benda sesuai dengan arti harafiah kata dasarnya) membuat saya tidak sempat memperhatikan si kuda lagi. Sampai di manakah dia, menjadi lebih pelan atau lebih kencangkah dia, bagaimana keadaan sepatunya, apakah dia masih tersenyum, atau apakah dia bertemu kuda lain dan jatuh cinta (woh.. kok jadi nggosip tentang kuda)...

Ya, saya tidak sempat. Bahkan melirik pun tidak. Dalam mimpi saya terus berlari sampai suatu saat saya tiba di sebuah tempat yang sangat indah. Ada padang rumput yang empuk, ada bunga-bunga berwarna kuning dan putih, ada cahaya matahari, ada kupu-kupu berwarna-warni, dan ada saya. Anehnya, saya melihat ada sebuah pintu, yang jelas posisnya aneh (wagu), di tengah padang, tanpa tembok di sisi kiri dan kanannya. Hanya pintu, besar dan megah dari kayu yang kokoh, dengan dua daun pintu dan pegangan warna perak mengkilat.

Saya sebenarnya masih ingin menikmati indahnya padang itu. Ingin berbaring diatas rumput sambil memandang langit biru cerah yang meng-atap-i saya (kalau imbuham me - i dapat dipakai untuk membentuk kata kerja sesuai arti harafiah dari kata dasarnya). Tapi pintu itu sungguh menarik. Sangat menarik bagi saya sehingga saya menyimpan sejenak kekaguman saya akan keindahan pemandangan di sekeliling saya, kemudian mendekat ke pintu yang wagu itu.

Perlahan saya membuka pintu itu tapi tak terbuka. Rupanya terkunci. Saya penasaran, lalu melongok ke balik pintu itu lewat sampingnya. Eh, saat badan saya berada di depan pintu sedang leher saya terjulur untuk melihat ke balik pintu, nampak sebuah anak kunci tertancap di lubang kunci, mengkilat dan lucu, . Saya kemudian melangkah ke balik pintu itu, untuk membukanya dari sisi yang satu. Waktu saya sudah menghadap ke pintu aneh itu (di sisi sebaliknya), anak kuncinya malah tak tampak. Hilang.

Refleks saya melongok lagi. Kaki saya masih di tempat, tetapi leher saya menjulur untuk melihat ke sisi depan pintu (sekarang saya sedang ada di balik pintu itu). Anak kunci itu tampak lagi, sedang menggantung di tempatnya. Saya segera pindah ke depan, tapi anak kunci itu malah hilang lagi.

Saya pikir pintu ini mempermainkan saya. Kemudian saya cari akal. Badan saya tetap di situ, dan saya ulangi lagi melongok ke sisi sebelah. Ya, anak kunci itu ada lagi di sana. Dengan badan yang masih di situ, tangan saya menggapai untuk mengambil kunci. Tapi sayang, pintunya terlalu lebar. Tangan saya tidak cukup panjang untuk mencapai anak kunci yang menggantung itu dengan posisi badan yang begitu.

Setelah lama berusaha saya menjadi lelah (mungkin efek lari sebelumnya). Saya kemudian berbaring disitu, merasakan angin sepoi-sepoi. Beberapa kupu-kupu datang menghampiri saya, beterbangan di dekat saya tapi tidak mau pergi. Awalnya saya senang, tapi kupu-kupu itu tetap beterbangan disitu dan membuat saya lama-lama jadi bete. Kepingin melihat langit, tapi ditutupi kupu-kupu yang tidak mau pergi. 

Akhirnya saya bangkit dan kembali lagi ke pintu wagu tadi. Ternyata kupu-kupu itu mengikuti saya. Refleks saya melongok lagi ke balik pintu, menjulurkan leher sekaligus tangan saya, mencoba lagi menggapai kunci. Tetapi lengan saya tidak bertambah panjang dan pintu itu tidak bertambah kecil, jadi tetap saja saya tidak dapat mencapai kunci itu. 

Dan tidak saya duga, kupu-kupu itu beramai-ramai berbaris bergandeng tangan (setidaknya saya merasa yang mereka lakukan adalah bergandeng tangan). Sementara tangan saya terjulur, salah satu kupu-kupu menempatkan diri di atas telunjuk saya,dan kupu-kupu yang lain menempatkan diri satu demi satu, sampai ke tempat kunci menggantung. Setelah kunci diambil oleh kupu terakhir, saya perlahan menarik tangan saya (telunjuk saya lebih tinggi dari posisi 4 jari saya yang lain. Kupu-kupu yang sedang berbaris ikut tertarik mendekat kepada saya, sampai saya dapat mengambil anak kunci dari kupu-kupu terakhir dengan tangan saya yang lain. 

Tapi...
Tidak sampai saya membuka pintu itu, saya terbangun padahal jam belum genap 6.00..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ice Breaking Game

Tangkap Jari

Rahasia Kesuksesan Yusuf