Please,, This is my business
Beberapa hari yang lalu, saya ketemu lalu duduk sebelahan dengan seseorang di dalam bis. Pertama dia bertanya, sambil menunjuk ke arah perut saya, "Udah isi belum?"
Ah, orang ini, maunya apa, saya ga ngerti. Lalu berbagai alternatif muncul di benak saya:
Saya jawab, "hehehe.. belum," sambil mesem-mesem.
"Udah umur berapa kamu sekarang?" dia bertanya lagi.
"Sekarang 29," saya menjawab.
"29 ya? kudu cepet-cepet. Perempuan itu punya batas waktu. Jangan tunda-tunda," dia berkata.
"Oo,, iya.. hehe," saya jawab seadanya. Siapa juga yang nunda, pikir saya. Kan anak itu karunia Tuhan, kapan dikasih kita juga tidak tahu.
"Sepi kan di rumah? Kalo ada anak kan lucu," katanya sambil memangdang ke arah depan.
Saya memalingkan pandangan ke arah depan juga, sambil berkata "He, he, he..."
"Saya aja sekarang ngerasa sepi kalau pas anak-anak ga da di rumah. Berdua doang di rumah," pandangannya kembali diarahkan kepada saya. "Iya, lho, sepi kalau ga ada anak," lanjutnya.
Saya hanya manggut-manggut.
"Kamu juga sepi kan? Pulang kerja udah capek, suami istri paling cuma begini aja (sambil menirukan tangan orang yang sedang mainan tablet). Kalau ada anak kan lucu, pasti capeknya hilang."
Saya lalu berkata, "Kalau saya sama suami siy sering ngobrol-ngobrol, becanda. kadang jalan-jalan, jadi ga sepi-sepi banget juga."
"Mmmm, tapi kan tetep kurang. Pasti kalian cuma main hape kan?" Dia bersikeras.
Saya mulai heran, kan yang tau gimana di rumah saya kan saya sendiri. Tapi ya sudahlah, mungkin ga mau dibantah. Jadi saya mengarahkan pandangan saya ke depan, berharap topik ini segera disudahi.
Ternyata tidak.
"Si A itu teman satu angkatanmu bukan ya?" Dia bertanya lagi.
"Bukan, dia dua tahun di atas saya, " saya menjawab, tanpa ingin tahu apa yang akan dikatakannya selanjutnya.
"Udah hamil lagi lho dia." Dia memberi info yang sebenarnya sudah saya ketahui.
"Iya," saya menanggapinya.
"Si B juga lagi hamil, barengan itu."
"Iya,"
"Si C kemarin ketemu saya. Katanya, badannya belum balik, eh udah hamil lagi. Saya bilang, ga pa pa, kan perempuan emang kodratnya gitu," dia meneruskan.
Saya sebenarnya bertanya-tanya, kenapa bis ini lama sekali sampainya.
"Istrinya si D juga barusan melahirkan, anak kedua, makanya si D sekarang cuti," lanjutnya lagi.
Saya menggerakkan bibir membentuk rongga bulat, mengeluarkan suara yang terdengar seperti "Oo..."
"Si E juga udah hamil gede itu, sepertinya bentar lagi lahiran. Eh, dia itu angkatan di bawah kamu ya?"
Ah, orang ini, maunya apa, saya ga ngerti. Lalu berbagai alternatif muncul di benak saya:
- hanya orang yang keponya keterlaluan,
- Mungkin dia berharap saya mengemukakan apa yang saya alami: udah ke dokter belum? apa ada masalah secara fisik? dan lain-lain dan lain-lain. Lalu, mancing-mancing biar saya curhat. At least dia puas kalau udah tahu persis apa yang saya alami.
- orang yang hidupnya miserable, trus pengen tau urusan orang lain juga, biar dia ada temennya.
Opsi bahwa dia memang perhatian pada saya dan ingin yang terbaik buat saya ternyata tidak muncul.
Untung saja bisnya sampai, dan kami bisa turun, sehingga obrolan itu terhenti.
Social pressure di lingkungan tempat saya berada memang cukup besar, dan saya yakin tidak cuma saya yang mengalaminya. Ada teman yang belum menikah yang terus-terusan ditanya 'kapan nikah?' atau 'udah ada pa belum nih?' atau 'mana calonnya?'. Bayangkan jika orangnya tidak tahan ditanya-tanya terus lalu memutuskan untuk menikah. Lalu orang yang kerjanya nanya-nanyain itu bangga banget karena merasa bisa menjadikan seseorang menikah. Duh...
Tapi pertanyaan kapan nikah itu masih kurang. Ketika sudah nikah masih dibombardir dengan pertanyaan 'kapan isi?' (emang lemper?). Nikah sih mending, masih ada kemungkinan memutuskan 'oh oke, gua nikah aja.' Nah, kalau masalahnya tentang punya anak, masa bisa bilang 'oh, oke, gua punya anak aja.'
Hal-hal itu masalah pribadi, sungguh...
Tidak ada orang yang mau diurusi orang lain tentang 'lo mandi ga tadi pagi?'
Apalagi tentang punya anak. Sudah ada dua orang yang memikirkan itu, si suami dan si istri, dan itu cukup. Kalau orang di dalam bis ikut tanya-tanya juga, nanti yang narikin duit penumpang sapa? :D
Saya tidak begitu mempedulikan apa yang orang lain pikirkan tentang saya, karena saya tahu betul saya tidak dapat mengendalikan pemikiran orang. Hanya saja, saya akan merasa tidak nyaman bila mereka mengganggu saya terang-terangan.
Tapi pertanyaan kapan nikah itu masih kurang. Ketika sudah nikah masih dibombardir dengan pertanyaan 'kapan isi?' (emang lemper?). Nikah sih mending, masih ada kemungkinan memutuskan 'oh oke, gua nikah aja.' Nah, kalau masalahnya tentang punya anak, masa bisa bilang 'oh, oke, gua punya anak aja.'
Hal-hal itu masalah pribadi, sungguh...
Tidak ada orang yang mau diurusi orang lain tentang 'lo mandi ga tadi pagi?'
Apalagi tentang punya anak. Sudah ada dua orang yang memikirkan itu, si suami dan si istri, dan itu cukup. Kalau orang di dalam bis ikut tanya-tanya juga, nanti yang narikin duit penumpang sapa? :D
Saya tidak begitu mempedulikan apa yang orang lain pikirkan tentang saya, karena saya tahu betul saya tidak dapat mengendalikan pemikiran orang. Hanya saja, saya akan merasa tidak nyaman bila mereka mengganggu saya terang-terangan.
Saya hanya berharap mereka bisa sadar, bahwa obrolan-obrolan seperti itu sangat, sangat mengganggu.
Komentar
Posting Komentar