Setahun Naik Kereta
Horeeeeee
Tepat tanggal 15 Juli 2014 kemarin, saya merayakan setahun naik komuterline. Cuma traktiran kecil-kecilan dengan mas Adit di warung Padang kesukaan kami, saya mengenang peristiwa-peristiwa yang terjadi selama setahun dengan komuterline. Tentu saja sangat banyak. Saya pernah dimarahi oleh seorang ibu karena dia merasa tidak nyaman dengan cara saya berdiri, katanya saya tidak bisa diam. Padahal saya bergerak terus karena menghindari sikunya. Pernah juga saya menyaksikan perkelahian seorang bapak dengan mbak-mbak petugas di KRL. Kata-kata si bapak yang kasar dan bernada tinggi membuat kami semua kesal. Ada lagi perkelahian antar ibu-ibu. Ini sih sering terjadi, karena rebutan tempat, atau merasa didorong, atau merasa dijadikan sandaran, ah, macam-macam.
Yang jelas, terdapat perubahan yang mendasar dalam diri saya, yaitu toleransi terhadap jumlah manusia yang banyak. Dulu saya selalu khawatir jika berada di tempat yang banyak orang tidak dikenal dan semuanya terburu-buru. Saya pernah sempoyongan hampir terjatuh di Pelabuhan Ambon (untung lantas disambar oleh kakak sulung saya), sewaktu kami turun dari kapal. Pintu masuk dan kelur yang jadi satu, dengan arus penumpang yang tak dapat dibendung membuat orang-orang saling dorong dan marah-marah. Saya yang terhimpit di antara banyak manusia (waktu itu usia saya 10 tahun) merasa pusing, bingung dan takut.
Sewaktu naik komuterline pertama kali, saya tentu mengalami perasaan yang sama. Waktu itu kereta ekspres sudah dihapus, namun kereta ekonomi masih ada. Jadi saya masih sempat melihat manusia yang sangat banyak bertengger di atap kereta. Saya yang bingung hanya terduduk beberapa lama di bangku peron, baru kemudian menarik napas dan berusaha naik kereta komuterline berikutnya.
Sekarang, saya sudah terbiasa berada di tengah hiruk pikuk manusia yang semuanya terburu-buru. Saya tidak lagi panik tetapi bisa menjaga pikiran saya agar tetap tenang.
Perubahan lainnya adalah kaki saya menjadi lebih kuat. Dulu, setiap kali pulang, saya selalu mengeluh pegal. Bahkan kaki saya sempat biru-biru padahal tidak ada yang nabokin. Saat ini saya sudah dapat mengatasi itu dan bisa berdiri dengan tegar selama di dalam kereta.
Segala pengalaman, setidakenaknya itu, selalu membawa hal positif bagi saya. Semoga saya dapat menjadi lebih baik lagi ke depannya, tidak selalu mengeluh capek, padahal jutaan manusia lainnya mengalami hal yang lebih sulit dari saya.
Tepat tanggal 15 Juli 2014 kemarin, saya merayakan setahun naik komuterline. Cuma traktiran kecil-kecilan dengan mas Adit di warung Padang kesukaan kami, saya mengenang peristiwa-peristiwa yang terjadi selama setahun dengan komuterline. Tentu saja sangat banyak. Saya pernah dimarahi oleh seorang ibu karena dia merasa tidak nyaman dengan cara saya berdiri, katanya saya tidak bisa diam. Padahal saya bergerak terus karena menghindari sikunya. Pernah juga saya menyaksikan perkelahian seorang bapak dengan mbak-mbak petugas di KRL. Kata-kata si bapak yang kasar dan bernada tinggi membuat kami semua kesal. Ada lagi perkelahian antar ibu-ibu. Ini sih sering terjadi, karena rebutan tempat, atau merasa didorong, atau merasa dijadikan sandaran, ah, macam-macam.
Yang jelas, terdapat perubahan yang mendasar dalam diri saya, yaitu toleransi terhadap jumlah manusia yang banyak. Dulu saya selalu khawatir jika berada di tempat yang banyak orang tidak dikenal dan semuanya terburu-buru. Saya pernah sempoyongan hampir terjatuh di Pelabuhan Ambon (untung lantas disambar oleh kakak sulung saya), sewaktu kami turun dari kapal. Pintu masuk dan kelur yang jadi satu, dengan arus penumpang yang tak dapat dibendung membuat orang-orang saling dorong dan marah-marah. Saya yang terhimpit di antara banyak manusia (waktu itu usia saya 10 tahun) merasa pusing, bingung dan takut.
Sewaktu naik komuterline pertama kali, saya tentu mengalami perasaan yang sama. Waktu itu kereta ekspres sudah dihapus, namun kereta ekonomi masih ada. Jadi saya masih sempat melihat manusia yang sangat banyak bertengger di atap kereta. Saya yang bingung hanya terduduk beberapa lama di bangku peron, baru kemudian menarik napas dan berusaha naik kereta komuterline berikutnya.
Sekarang, saya sudah terbiasa berada di tengah hiruk pikuk manusia yang semuanya terburu-buru. Saya tidak lagi panik tetapi bisa menjaga pikiran saya agar tetap tenang.
Perubahan lainnya adalah kaki saya menjadi lebih kuat. Dulu, setiap kali pulang, saya selalu mengeluh pegal. Bahkan kaki saya sempat biru-biru padahal tidak ada yang nabokin. Saat ini saya sudah dapat mengatasi itu dan bisa berdiri dengan tegar selama di dalam kereta.
Segala pengalaman, setidakenaknya itu, selalu membawa hal positif bagi saya. Semoga saya dapat menjadi lebih baik lagi ke depannya, tidak selalu mengeluh capek, padahal jutaan manusia lainnya mengalami hal yang lebih sulit dari saya.
Komentar
Posting Komentar